Sore itu di rumah kami terjadi kegemparan. Mengapa? Karena saya tidak mau makan kepiting yang dibeli Bapak dari pasar nelayan di daerah Tanjung Priuk dan telah diolah dengan lezatnya oleh ibuku.
“Ahhh... gimana kamu ini dikasih makan yang bergizi malah menolak.
Kamu tahu betapa kayanya kepiting ini akan gizi yang akan membuat kamu pandai.”
Kata Bapak menahan rasa kesalnya.
Kepiting yang lezat (Sumber: Foto Pribadi) |
“Kamu tahu bahwa zaman dulu di kampung Bapakmu ini,
kepiting-kepiting jauh lebih besar dibandingkan kepiting yang kamu lihat
sekarang.”
Muka kecil saya yang imut berbinar membayangkan seberapa besar
ukuran kepiting-kepiting yang dimaksud Bapak. Saya memang selalu excited dengan kisah-kisah Bapak mengenai kampung halamannya. Salah
satunya tentang cerita ikan-ikan yang sangat besar yang ditangkap di laut
kemudian dijual dengan harga yang begitu murah di pantai.
Kisah tersebut yang menginspirasi saya menulis artikel ini dan
ikut serta menyemarakkan Jelajah Gizi 4: Membedah Nilai Gizi Masakan Minahasa.
Cerita ini ber-setting waktu sekitar 60 tahunan yang lalu di
sebuah desa nelayan di daerah Sibolga Tapanuli Utara. Setiap pagi my-still-little-Bapak
hampir selalu dibawa oleh Opung Doliku (Kakek) ke pinggir pantai untuk membeli
ikan. Di sana ada berbagai jenis ikan yang dibawa oleh nelayan dari laut.
Bapakku menyebut namanya satu per satu,
dari deke sambola (ikan sebelah), janggut-janggut, tuan deman, timpi (tongkol),
tenggiri, bawal, makso, pinang, balibiran, herong (pisang-pisang), asasa
(gembung), baladang (ikan layur), pari, hingga hiu. Sebagian besar Bapakku
tidak tahu nama ikan-ikan tersebut dalam bahasa Indonesia. Sebagian lagi memang
tidak pernah ditemukannya lagi setelah merantau di Jakarta.
Bagaimana dengan ukuran ikannya? Ini yang saya selalu bikin
saya terpana. Ukuran ikan besar-besar sekali. Ada ikan yang ukuranya sebesar betis orang dewasa. Bahkan Bapakku
pernah bercerita dahulu ada ikan pari yang sebesar pintu cokelat rumah kami. Wowww..... Dan ketika saat ini ikan dijual
per biji atau per kilo, zaman dulu ikan dijual per ember atau keranjang besar yang
biasanya sudah dipersiapkan dari rumah.
Opung doliku pun kemudian menjinjing ember tersebut sampai
ke rumah. Di belakangnya Bapakku berlari-lari sampai ke rumah. Di rumah Opung
Boruku (Nenek) sudah menunggu dengan berbagai bumbu masak yang sudah
dihaluskan, mulai dari kunyit, jahe,
cabai, lengkuas, bawang putih, bawang merah, dan juga santan yang diambil buah
kelapanya dari kebun sendiri. Ada juga beberapa daun yang telah disediakan
mulai dari serai hingga daun salam. Dan beberapa jam kemudian, gulai ikan
berkuah santan kental sudah siap untuk makan siang. Bapakku dan keluarganya pun
akan makan dengan lahap ditemani dengan hangatnya nasi putih.
Hasil Laut Dijual di Tepi Pantai (Sumber: Doumentasi Pribadi) |
Bapakku masih melanjutkan cerita.
Saking ikan yang ada di rumah selalu banyak, tidak pernah
ada cerita lauk makan siang akan sama dengan lauk makan malam. Jika masih
tersisa, lauk tersebut langsung dibuang begitu saja.
Saya pun langsung komplain, “sayang dong Pak, makanan masih
enak sudah dibuang.”
Hasil laut Indonesia sudah ada di meja makan (Foto: Koleksi Pribadi) |
Dengan ringannya Bapak menjawab, “Ya siapa yang mau makan,
ikan masih bayak.”
Jika siang sudah makan gulai, makan malam ikan akan dibakar.
Opung Boru akan menyiapkan sambal andaliman yang rasanya menggigit atau
sambal bawang yang segar. Kita boleh
sebebas-bebasnya memilih ikan mana yang akan kita bakar.
Malahan pernah suatu hari ketika Bapak dan keluarganya
sedang asyik bakar-bakaran ikan, ada orang yang mengirimkan dua keranjang besar
ikan. Opung boru kemudian menerimanya, lalu ikan itu diolah menjadi berbagai menu,
salah satunya diasinkan agar awet.
Jadi tak heran bukan setelah membaca cerita di atas, meskipun
kami sesungguhnya adalah orang Batak, rumah makan favorit kami bukanlah
lapo tuak, melainkan rumah makan Padang
yang menyediakan berbagai jenis kreasi Olahan Makanan Laut. Di sinilah kami
sekeluarga, terutama Bapakku, menemukan surga makan favoritnya, dari gulai kepala ikan,
gulai tongkol, gulai tuna, gulai cumi, ikan bawal bakal, ikan kembung bakar,
ikan kembung sambal balado, hingga udang balado pete kentang pun tersedia.
Gulai ikan (Sumber Foto: Pribadi) |
Hmmm... I really love
it. Satu porsi nasi putih dengan gulai tongkol plus sayur daun singkong rebus dan sayur nangka bersimbah santan
dengan sambal hijau dan sambal merah. Di lain waktu saya pun memesan gulai cumi
yang biasanya di dalamnya sudah diisi dengan hancuran tahu putih. Biasanya saya
akan menambah sayur terong yang bikin makan jadi makin maknyus. Di lain waktu
saya memesan satu porsi gulai kepala ikan kakap. Menu ini tidak bisa dimakan
sendiri karena ukurannya biasanya jumbo.
Saya sangat menikmati setiap daging-daging ikan yang
menempel di sela-sela tulang. Dan ketika daging tersebut tidak bisa dijangkau
dengan jari, saya akan mengenyot lubang-lubang di antara tulang. Bapakku yang
mengajarkan cara makan tersebut. Sumpah! Rasa ikan jauh lebih nikmat bercampur
dengan nikmatnya santan yang kental. Jangan lupa untuk memakan cengek alias
cabe hijau utuh sehingga bikin makan siangmu jadi semakin berkeringat.
Hmmmm.... I really love Indonesia. I really love the taste
of Indonesian food!
Mauuuu dong diajak kulineran sama Kak Sonta :D
BalasHapus